Apa Itu Perjanjian Pra Nikah?

Secara umum, perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang disepakati oleh pihak suami dan istri yang dibuat pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan. Fondasi kehadiran perjanjian pra nikah dalam ikatan perkawinan adalah mengatur akibat-akibat yang timbul dari perkawinan, sehingga dibutuhkan perlindungan hak dan kewajiban masing-masing saat menjalankan ikatan perkawinan.

Merujuk pada peraturan perundang-undangan, perjanjian pra nikah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/ 1974 tentang Perkawinan”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang menegaskan bahwa:

Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Dari pengertian diatas, maka dapat diketahui bahwa perjanjian pra nikah harus dibuat dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris (akta notaris). Selain itu, Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) juga menekankan hal yang sama bahwa perjanjian pra nikah harus dibuat dihadapan notaris dan akan menjadi batal jika tidak dibuat secara demikian.

Sebagai pengetahuan Sobat Perqara, kata-kata “pihak ketiga” dalam Pasal 29 ayat (1) UU 1/ 1974 tentang Perkawinan biasanya merujuk kepada kreditur dimana suami atau istri memiliki hutang kepada kreditur tersebut, sehingga umumnya kreditur dilibatkan dalam perjanjian perkawinan karena berhubungan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh suami dan istri yang diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah.

Isi Perjanjian Pra Nikah 

Dalam KUHPerdata, perjanjian pra nikah mengatur mengenai harta kebendaan baik bawaan pihak suami dan istri ataupun dalam ikatan perkawinan. Namun, Pasal 139 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian pra nikah dapat menyimpang dan peraturan undang-undang mengenai harta bersama selama hal tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tata tertib umum. Dalam hal ini, Perjanjian pra nikah sekiranya dapat berisi mengenai:

  1. Penggabungan harta selama ikatan perkawinan;
  2. Pemisahan harta bawaan suami dan istri;
  3. Pemisahan hutang;
  4. Kewenangan pengurusan utang bawaan dari masing-masing pihak;
  5. Aturan lainnya selama dikehendaki dan disetujui oleh kedua belah pihak.

Dari Pasal 139 KUHPerdata, maka tolak ukur suatu perjanjian pra nikah tidak hanya sebatas mengenai harta bersama, melainkan juga dapat berisikan hak dan kewajiban suami-istri dalam perkawinan, tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hidup, harta setelah perceraian, perlindungan dari ancaman kekerasan dalam rumah tangga, dan lainnya.

Pada perjanjian pra nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, calon pasangan membuat perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh pihak laki-laki setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Jika benar perjanjian taklik talak terjadi, talak tidak dengan sendirinya jatuh, melainkan istri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan agama. Perjanjian taklik talak ini bukan hal yang wajib diadakan, namun jika taklik talak sudah diperjanjikan, maka tidak dapat dicabut kembali.

Tujuan Dibuatnya Perjanjian Pra Nikah 

Tentunya perjanjian pra nikah memiliki tujuan untuk dibuat. Secara umum, tujuan dari adanya perjanjian perkawinan yakni:

  1. Mengantisipasi akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan;
  2. Mengatur sejumlah harta kekayaan yang dibawa oleh kedua belah pihak;
  3. Memisahkan hutang-hutang yang dimiliki oleh masing-masing pihak sebelum perkawinan, sehingga hutang tersebut bertanggung gugat secara sendiri-sendiri;
  4. Mengantisipasi bila perusahaan yang dimiliki salah satu pihak pailit (bangkrut), sehingga pihak lainnya tidak diikutsertakan;
  5. Tindakan preventif bila terjadi perceraian;
  6. Tanggung jawab kepada anak setelah bercerai berupa berapa besar kontribusi masing-masing pihak terhadap biaya hidup, biaya pendidikan, dan lainnya.

Pembuatan isi perjanjian pra nikah setidaknya memiliki pertimbangan dari kedua belah pihak berupa:

  1. Keterbukaan untuk mengungkap seluruh kondisi baik keuangan sebelum dan sesudah menikah. Hal ini dapat mencakup jumlah harta bawaan, potensi meningkatnya penghasilan, penerimaan warisan, jumlah hutang bawaan, dan potensi hutang jika terjadi.
  2. Persetujuan dan kesepakatan kedua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan untuk menandatangani serta menjalankan perjanjian tersebut. Bilamana salah satu pihak membuat perjanjian karena ada ancaman atau berada dibawah tekanan, maka perjanjian terancam batal demi hukum sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata.
  3. Pejabat berwenang yang objektif dan memiliki reputasi baik guna menjaga keadilan bagi kedua belah pihak dalam isi perjanjian.
  4. Tidak dibuat dibawah tangan, melainkan disahkan oleh notaris. Setelah mendapatkan akta notaris, tak lupa juga bawah kedua belah pihak mendaftarkan ke pegawai pencatat perkawinan (KUA atau Kantor Catatan Sipil).

 

Larangan Perjanjian Pra Nikah 

Ketika membuat perjanjian pra nikah, tentu adanya larangan-larangan yang tidak dapat dimuat menurut KUHPerdata yakni:

  1. Tidak bertentangan dengan tata tertib umum dan diindahkan ketentuan-ketentuan itu (Pasal 139 KUHPerdata).
  2. Tidak boleh melanggar dan/ atau mengurangi hak marital suami yang statusnya sebagai suami (kepala rumah tangga) dan sebagai seorang ayah tetapi juga tidak mengurangi wewenang istri dalam pengurusan harta kekayaan pribadi (Pasal 140 KUHPerdata).
  3. Tidak boleh melanggar hak suami dalam statusnya sebagai kepala persatuan suami istri. Semisalnya, diperjanjikan istri dapat bertindak sendiri jika mengenai harta bersama (Pasal 140 KUHPerdata).
  4. Larangan dipindahtangankan atau dibebani ke suami tanpa persetujuan istri mengenai barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat berharga lainnya dan piutang yang diperoleh atas nama istri (Pasal 140 KUHPerdata).
  5. Tidak boleh membuat perjanjian dengan melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka atas warisannya, serta tidak boleh mengatur warisan itu (Pasal 141 KUHPerdata).
  6. Tidak boleh diperjanjikan mengenai yang satu mempunyai kewajiban lebih besar dalam utang-utang daripada bagiannya dalam keuntungan harta bersama (Pasal 142 KUHPerdata).
  7. Tidak boleh diperjanjikan bahwa ikatan perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan di luar negeri, adat kebiasaan, atau peraturan daerah (Pasal 143 KUHPerdata).
  8. Tidak boleh melanggar ketentuan yang diberikan undang-undang kepada suami atau istri yang hidup paling lama mengenai hak warisan (Pasal 852a KUHPerdata).

Selain itu, diatur pula dalam Pasal 29 ayat (4) UU 1/ 1974 tentang Perkawinan bahwa perjanjian pra nikah yang telah dibuat tidak dapat diubah, kecuali kedua belah pihak setuju untuk merubah dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga yang ada di dalam perjanjian tersebut.

Sanksi Hukum Jika Melanggar Perjanjian Pra Nikah

Setelah membuat, menyepakati, dan menandatangani perjanjian pra nikah, maka perjanjian tersebut mengikat bagi kedua pihak layaknya undang-undang. Meskipun diatur sedemikian rupa, pelanggaran dalam perjanjian tentunya dapat terjadi dan dilakukan oleh salah satu pihak.

Dalam hal ini, pada aturan hukum islam yakni Pasal 51 KHI, jika perjanjian perkawinan atau taklik talak dilanggar, maka salah satu pihak berhak untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukan alasan tersebut untuk menggugatnya ke Pengadilan Agama. Namun, untuk ketentuan pasangan non-muslim, bila adanya pelanggaran perjanjian perkawinan oleh salah satu pihak, maka pihak lainnya dapat mengajukan gugatan baik sifatnya keperdataan murni (gugatan wanprestasi) atau menempatkan pelanggaran perjanjian sebagai alasan perceraian.

Perjanjian pra nikah merupakan dokumen yang tidak wajib (opsional) dibuat dalam perkawinan. Namun, tidak jarang masyarakat membuat perjanjian pra nikah demi keberlangsungan keterbukaan dan transparansi dalam ikatan perkawinan.

Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan calon isteri sebelum melangsungkan perkawinan dengan tujuan memisahkan harta mereka selama berlangsungnya perkawinan.

Pemisahan harta ini dilakukan agar dikemudian hari apabila timbul suatu perceraian tidak ada pembagian harta bersama (gono gini) karena telah dibuatnya perjanjian pra nikah tersebut.

Menurut Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, perjanjian pra nikah wajib dicatatkan (disahkan) oleh Pagawai Pencatat Perkawinan.

 Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Umunya pencatatan (pengesahan) perjanjian pra nikah dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No.69/PUU-XIII/2016, sehingga pembuatan perjanjian pra nikah tersebut dapat dibuat dalam 2 (dua) waktu :

  1. Sebelum perkawinan berlangsung (prenuptial agreement), serta
  2. Setelah perkawinan dilangsungkan (postnuptial agreement).

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, maka istilah “perjanjian pra nikah”  tidak cocok digunakan lagi, namun diganti menjadi “perjanjian perkawinan”, sebab istilah “perjanjian pra nikah” menunjukan makna kewajiban membuat perjanjian sebelum perkawinan berlangsung, sedangkan istilah “perjanjian perkawinan”  menunjukan makna kewajiban membuat perjanjian tidak hanya sebelum berlangsungnya perkawinan, namun juga dapat dibuat setelah perkawinan berlansung.

Tata Cara Pembuatan Perjanjian Perkawinan

Pembuatan “Perjanjian Perkawinan” pada dasarnya dibuat dihadapan notaris. Setelah dibuat dihadapan notaris, maka tahap selanjutnya adalah dicatatkan.

Untuk yang beragama Islam, pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum melangsungkan perkawinan atau setelah melangsungkan perkawinan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN), dibawah Kementerian Agama. Hal ini seusai dengan Surat Kementerian Agama RI No. B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017, Perihal Pencatatan Perjanjian Perkawinan, tertanggal 28 September 2017.

Adapun dokumen administrasi yang wajib dilengkapi, seperti :

  1. Foto Copy KTP,
  2. Foto Copy Kartu Keluarga (KK),
  3. Foto Copy Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat di Notaris dan telah dilegalisir,
  4. Buku Nikah Suami dan Isteri, (Wajib bagi mereka membuat perjanjian perkawinan setelah melangsungkan perkawinan),
  5. Buku Nikah Suami dan Isteri atau Akta Perkawinan yang diterbitkan negara lain (Wajib bagi mereka yang menikah diluar negeri).

Sedangkan untuk yang beragama Kristen Protenstan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DukCapil) dibawah Kementerian Dalam Negeri. Hal ini sesuai dengan Surat Kemendagri No. 472.2/5876/Dukcapil, Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan, tertanggal 19 Mei 2017.

Adapun dokumen administrasi yang wajib dilengkapi, seperti :

  1. Foto Copy KTP (Elektronik),
  2. Foto Copy Kartu Keluarga (KK),
  3. Foto Copy Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat di Notaris dan telah dilegalisir dengan ditunjukan aslinya,
  4. Kutipan Akta Perkawinan Suami dan Isteri, (Wajib bagi mereka membuat perjanjian perkawinan setelah melangsungkan perkawinan),
  5. Kutipan Akta Perkawinan Suami dan Isteri atau nama lain yang diterbitkan negara lain (Wajib bagi mereka yang menikah diluar negeri).
  6. Surat keterangan pelaporan akta perkawinan yang diterbitkan negara lain. (Wajib bagi mereka yang menikah diluar negeri).

Dengan adanya aturan diatas, maka setiap perjanjian perkawinan yang dibuat wajib dicatatkan.

Bagaimana Bila Perjanjian Perkawinan Tidak Dicatatkan ?

Apabila perjanjian perkawinan telah dibuat dihadapan notaris, namun dilupa untuk dicatatkan atau tidak dicatatkan sama sekali, apakah perjanjian perkawinan tersebut tetap sah menurut hukum ?

Pada dasarnya perjanjian perkawinan yang dibuah dihadapan notaris dianggap sah apabila dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

Suatu perjanjian dianggap sah, apabila memuat 4 (empat) hal, yaitu :

  1. Para pihak tanpa ada paksaan sepakat membuat perjanjian,
  2. Pihak yang membuat perjanjian cakap (tidak dibawah umur),
  3. Objek yang diperjanjikan haruslah jelas,
  4. Perjanjian yang dibuat berdasarkan clausa/ sebab yang halal.

Terkait pertanyaan diatas, maka menurut hemat kami, perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris tanpa dicatatkan adalah tidak lah sah karena tidak berdasarkan clausa/sebab yang halal sesuai yang digambarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata.

Adapun maksud dari “perjanjian yang dibuat wajib berdasarkan clausa/ sebab yang halal” adalah perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris tersebut seharusnya tidak boleh bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang mewajibkan perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis dan dicatatkan di Pegawai Pencatatan Perkawinan.

Akibat hukum dari perjanjian yang tidak membuat clausa/sebab yang halal adalah batal demi hukum (netig). Artinya, perjanjian perkawinan yang dibuat tidak sah dan dianggap tidak pernah ada. Selain itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak luar maupun kepada pihak yang membuatnya.

 

 

 

Aisah & Partners Law Firm hadir untuk membantu Anda dengan layanan konsultasi Pengacara Keluarga, Harta Gono Gini, Pengacara Perceraian   yang profesional dan terpercaya silahkan hubungi kami  melalui  Telepon/ WhatsApp  0877-5777-1108  atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com

 

 

Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  2. Kompilasi Hukum Islam
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
  5. Witariyani, Putri Trisna, et.all. “Akibat Hukum Perjanjian Kawin Terhadap Pihak Ketiga dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII-2015”, Jurnal Interpretasi Hukum Vol. 2, No.1 (April 2021).
Call Now
WhatsApp