Pengertian Nafkah Iddah

Nafkah iddah merupakan kewajiban suami untuk memberikan dukungan finansial kepada istri setelah perceraian, sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan undang-undang yang berlaku. Hal ini diatur dalam:

  • Kompilasi Hukum Islam (KHI): Pasal 152 menyatakan bahwa bekas istri berhak atas nafkah iddah, kecuali jika terbukti melakukan nusyuz (perilaku tidak taat terhadap suami).
  • Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018: Menyebutkan bahwa hak istri setelah menggugat cerai mencakup nafkah iddah dan mut’ah, selama tidak ada tindakan nusyuz.

Apakah isteri boleh meminta nafkah “masa iddah” ketika mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya ?

Seperti diketahui, “masa iddah” dapat diartikan masa dimana mantan isteri menahan diri /menunggu untuk diketahui rahimnya bebas dari hamil. Oleh karena itu, selama masa iddah, seorang isteri yang telah telah putus perkawinannya baik itu suaminya meninggal atau bercerai dilarang menikah lagi sampai dengan  habisnya masa iddah tersebut.

Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengatur mengenai masa tunggu (masa tunggu) bagi mantan isteri/ janda, yaitu :
  1. Perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
  2. Perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
  3. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
  4. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Dari ketentuan diatas, maka dapat disimpulkan khusus untuk mereka yang perkawinannya putus karena perceraian, masa tunggu/ masa iddahnya adalah sekitar 3 bulan atau 90 hari.

Dalam praktek, biasanya dalam masa iddah  seorang mantan isteri boleh meminta nafkah iddah. Oleh karena itu, ketika terjadi permohonan cerai yang diajukan oleh suami terhadap isterinya, maka isterinya dapat meminta untuk dinafkahi sampai dengan waktu masa iddah berakhir.

Namun apabila isteri yang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya, maka permintaan untuk meminta nafkah iddah sulit untuk dikabulkan.

Salah satu putusan pengadilan yang dapat dijadikan contoh dimana isteri tidak dapat meminta nafkah iddah ketika ia yang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya adalah Putusan Pengadilan Agama Praya No. 0531/Pdt.G/2017/PA.Pra.

Dalam putusan tersebut hakim memiliki pertimbangan sebagai berikut :

Menimbang, bahwa Penggugat melalui kuasanya telah menuntut apabila majelis hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat, agar Tergugat memberikan nafkah Iddah kepada Penggugat selama tiga bulan 10 hari sebanyak Rp 1000.000,- untuk satu bulan sehingga untuk tiga bulan berjumlah Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah);

Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penggugat tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa nafkah Iddah itu wajib diberikan oleh pihak suami, apabila perceraian itu datangnya dari pihak laki-laki, dan kewajiban tersebut mulai timbul setelah suami mengucapkan ikrar talak, dan apabila perceraian itu atas kemauan isteri, maka suami tidak wajib memberikan nafkah Iddah kepada isterinya;

Dari pertimbangan hukum diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa permintaan nafkah iddah wajib diberikan oleh suami apabila perceraian itu datang atau diajukan oleh suami, sebab kewajiban itu timbul ketika suami mengucapkan ikrar talak.

Bagaimana cara menentukan jumlah nafkah iddah yang harus diberikan ?

Menentukan jumlah nafkah iddah yang harus diberikan oleh suami kepada istri setelah perceraian melibatkan beberapa faktor dan pertimbangan hukum. Nafkah iddah adalah kewajiban suami untuk memberikan dukungan finansial kepada istri selama masa iddah, yang biasanya berlangsung antara 3 hingga 12 bulan tergantung pada kondisi tertentu. Berikut adalah cara dan pertimbangan dalam menentukan jumlah nafkah iddah.

1. Dasar Hukum

Nafkah iddah diatur dalam beberapa peraturan, termasuk:

  • Kompilasi Hukum Islam (KHI): Menyebutkan bahwa bekas istri berhak atas nafkah iddah, kecuali jika terbukti melakukan nusyuz.
  • Pasal 41 huruf c UU Perkawinan: Mengatur kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri yang ditalak.

2. Pertimbangan dalam Menentukan Jumlah Nafkah Iddah

a. Kebutuhan Hidup Istri

Jumlah nafkah iddah ditentukan berdasarkan kebutuhan hidup istri, yang mencakup:

  • Makanan: Biaya untuk makanan sehari-hari.
  • Pakaian: Kebutuhan pakaian yang layak.
  • Tempat Tinggal: Biaya sewa atau tempat tinggal yang aman dan nyaman.

b. Kemampuan Suami

Kemampuan finansial suami juga menjadi faktor penting dalam menentukan jumlah nafkah. Hakim akan mempertimbangkan:

  • Pendapatan Suami: Berapa besar pendapatan bulanan suami.
  • Kondisi Ekonomi: Apakah suami memiliki utang atau tanggungan lain yang mempengaruhi kemampuannya untuk membayar nafkah.

c. Lama Masa Iddah

Masa iddah biasanya berlangsung selama:

  • Tiga bulan bagi wanita yang tidak hamil dan tidak sedang menyusui.
  • Enam bulan bagi wanita yang menyusui.
  • Sampai melahirkan bagi wanita yang hamil.

Jumlah nafkah dapat disesuaikan dengan lama masa iddah ini, sehingga total nafkah selama masa tersebut dapat dihitung.

Aisah & Partners Law Firm hadir untuk membantu Anda dengan layanan konsultasi Pengacara Keluarga, Harta Gono Gini, Pengacara Perceraian   yang profesional dan terpercaya silahkan hubungi kami  melalui  Telepon/ WhatsApp  0877-5777-1108  atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com

Call Now
WhatsApp