Ya, ada beberapa batasan dalam penggunaan alat bukti elektronik untuk kasus perzinahan. Berikut adalah beberapa poin penting:
- Syarat Formil dan Materil: Informasi dan dokumen elektronik harus memenuhi syarat formil dan materil untuk diakui sebagai alat bukti elektronik yang sah. Hal ini termasuk keabsahan dokumen, keotentikan, dan keamanan data.
- Pengakuan Hukum: Alat bukti elektronik harus diakui sebagai alat bukti yang sah oleh hukum yang berlaku. Misalnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menegaskan bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti hukum yang sah.
- Klasifikasi Alat Bukti: Alat bukti elektronik harus diklasifikasikan sebagai salah satu dari alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata. Misalnya, dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah bersama dengan keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
- Pengujian Kebenaran: Alat bukti elektronik harus dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah dan tidak menyalahi aturan yang berlaku di pengadilan. Misalnya, dalam kasus perceraian, hakim dapat menerima alat bukti elektronik sebagai alat bukti perzinahan jika alat bukti tersebut menggambarkan adanya perbuatan perzinahan dan tidak memiliki unsur rekayasa.
- Pengaturan Hukum: Pengaturan hukum yang berlaku juga membatasi penggunaan alat bukti elektronik. Misalnya, dalam hukum Islam, pembuktian zina harus mendatangkan empat orang saksi yang melihat secara langsung kejadian tersebut, sehingga alat bukti elektronik tidak dapat dijadikan sebagai pembuktian zina.
Apabila anda ingin berkonsultasi mengenai Pembuktian di Persidangan, silahkan hubungi kami Aisah & Partners Law Firm melalui Telepon/ WhatsApp 0877- 5777-1108 atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com