Harta Bersama dan Hutang Selama Perkawinan
Dalam UU Perkawinan, ada istilah harta bersama yakni harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga atau setiap harta benda yang diperolah selama perkawinan akan menjadi harta bersama.
Harta bersama mencakup pada harta yang diperoleh dari usaha atau pencaharian suami dan istri selama masa perkawinan. Hal ini tidak termasuk harta bawaan berupa hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing.
Harta bersama ini biasanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan atau keperluan bersama selama masa perkawinan. Termasuk dalam hal membayar hutang yang menggunakan harta bersama ini. Apabila terjadi pemutusan perkawinan atau perceraian, maka akan memengaruhi pula kepemilikan harta bersama ini.
Salah satu hal yang sering membingungkan ketika ingin bercerai adalah bagaimana nasib atau status hutang mereke kedepan. Apakah tetap ditanggung bersama atau salah satu pihak nantinya yang akan menanggungnya sesuai dengan putusan pengadilan ?
Perlu dipahami, salah satu konsekuensi dari suatu perkawinan adalah terjadinya penyatuan harta bersama antara suami dan isteri. Artinya, harta yang didapatkan suami selama perkawinan adalah harta isteri. Demikian juga harta yang di dapatkan isteri merupakan harta suami.
Ketentuan mengenai terjadinya penyatuan harta tersebut diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan :
” Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Namun, hal tersebut berbeda apabila sebelum melangsungkan perkawinan calon suami dan calon isteri membuat “perjanjian pemisahan harta”.
Perjanjian pemisahan harta adalah perjanjian perkawinan yang dibuat antara calon suami dan calon isteri sebelum melangsungkan perkawinan yang didalamnya berisi mengenai adanya pemisahan harta antara suami dan isteri selama terjadi perkawinan.
Dengan dibuatnya perjanjian pemisahan harta tersebut, maka tidak akan terjadi pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian.
Status Hutang Pasca Perceraian ?
Pembayaran hutang setelah bercerai, kini jadi tanggung jawab siapa? Mungkin bagi pasangan suami dan istri yang sedang atau sudah menjalani perceraian selain persoalan hak asuh anak, harta gono gini tapi juga harus memikirkan pembayaran hutang setelah bercerai jadi tanggung jawab pihak siapa bukan?
Apabila anda membeli rumah yang anda KPR mungkin selama 20 tahun, namun ternyata ditahun ke-10 anda bercerai, maka menurut hemat kami, hutang terhadap rumah yang anda KPR tersebut tetap wajib dibayarkan bersama. Artinya, pembayaran hutang tersebut masuk kedalam “harta bersama” yang wajib dibayarkan sama rata, kecuali hakim yang memutus perkara tersebut berpendapat lain, seperti membebankan kepada mantan suami untuk membayar KPR tersebut lebih besar daripada mantan isteri.
Contoh pembelian rumah KPR diatas menurut kami dapat dikatakan sebagai “hutang keluarga” yang dilakukan atas persetujuan bersama, sehingga apabila bercerai, maka statusnya adalah merupakan hutang bersama.
Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam (KHI) :
- Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
- Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
- Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
- Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Apabila pembelian rumah KPR tersebut tidak atas persetujuan bersama, akan tetapi hanya sebatas persetujuan suami tanpa melibatkan isteri, maka isteri seharusnya tidak dapat bertanggung jawab secara hukum terhadap pembayaran KPR tersebut.
Dalam sebuah yurisprudensi disebutkan” tindakan terhadap harta bersama oleh suami dan isteri seharusnya mendapat persetujuan bersama”. Oleh karena tidak mendapat persetujuan bersama, maka perjanjian bisa jadi perjanjian KPR yang dibuat suami tersebut batal demi hukum karena melanggar syarar-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Contoh kasus lain ibu A yang telah bercerai dengan mantan suaminya. Namun selama masa pernikahan keduanya telah membeli mobil secara kredit. Belum selesai pembayaran cicilan mobil ibu A dengan mantan suaminya menjalani proses perceraian. Lalu, tanggung jawab siapakah cicilan mobil tersebut dan bagaimana membaginya?
Selama masa perkawinan, jika suami dan istri sepakat untuk melakukan pinjaman atau berhutang dalam kasus ibu A dan mantan suaminya yaitu kredit mobil. Maka keduanya wajib untuk saling membantu membayar hutang tersebut.
Setelah bercerai, jika hutang bersama masih belum selesai atau terbayarkan maka keduanya memiliki kewajiban yang sama untuk membayar hutang tersebut.
Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 dan ayat 2 Jo. Pasal 36 Ayat 1 dan ayat 2, semua hutang-hutang yang terjadi pada saat perkawinan/selama perkawinan adalah tanggungjawab bersama.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No: 1904 K/Pdt/2007 tanggal 6 September 2008 menyatakan “perceraian tidak mengakibatkan salah satu pihak, dibebaskan dari kewajiban membayar hutang, yang dibuat pada masih terikat dalam perkawinan”.
Dalam hal ini, pembagian harta gono-gini baru akan terjadi setelah dari harta bersama dikurangi untuk membayari hutang. Dengan demikian, pembagian harta bersama berupa harta bersih setelah dikurangi hutang.
Artinya, terkait dengan kredit mobil oleh ibu A dan mantan suaminya yang belum selesai setelah perceraian, maka menjadi utang yang harus dikurangi dari harta bersama sebelum dibagi. Maka, sebaiknya semua hutang harus diselesaikan dengan harta bersama yang ada, lalu mobil tersebut dijual dan hasil penjualannya dibagi.
Aisah & Partners Law Firm hadir untuk membantu Anda dengan layanan konsultasi Pengacara Keluarga, Harta Gono Gini, Pengacara Perceraian yang profesional dan terpercaya silahkan hubungi kami melalui Telepon/ WhatsApp 0877-5777-1108 atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com