Dalam dunia peradilan, khususnya yang menyangkut kewenangan Pengadilan Agama, suami istri yang sedang berurusan dengan pengadilan tentang harta ini biasanya sedang menyengkatan harta bersama yang juga sering disebut harta gono-gini. Nomenklatur  perkara harta bersama, dalam undang-undang, masih masuk dalam bidang perkawinan. Secara yuridis, perkara ini menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 ayat (1) huruf ( a ) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.  Cakupan bidang perkawinan tersebut, menurut penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU tersebut, termasuk perkara “penyelesaian harta bersama”.

Eksistensi harta bersama ini juga disebut dalam Pasal 35 ayat (1)  UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf ( f) yaitu, bahwa harta bersama mencakup semua harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan  terdaftar atas nama siapa pun.

Penyelesaian harta bersama ini biasanya terjadi dengan 2 cara. Pertama, menyelesaikannya bersama-sama dengan ketika kedua belah pihak (suami istri) mengajukan perkara perceraian. Kedua, diselesaikan setelah kedua belah pihak secara resmi bercerai.

Harta Gono Gini Adalah

Harta gono gini, atau yang lebih dikenal dengan istilah harta bersama, adalah harta yang diperoleh oleh pasangan suami istri selama masa perkawinan. Harta ini merupakan harta bersama kedua belah pihak, baik suami maupun istri, dan harus dibagi secara adil jika terjadi perceraian.

Pengertian harta gono gini juga dapat diartikan sebagai harta yang dihasilkan oleh pasangan suami istri melalui usaha atau kerja sama mereka selama masa perkawinan.

Harta ini dapat berupa benda bergerak atau tidak bergerak, seperti rumah, kendaraan, uang, tanah, dan lain-lain.

Jenis-jenis Harta Gono Gini

Harta gono gini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

  • Harta gono gini murni adalah harta yang diperoleh oleh pasangan suami istri melalui usaha atau kerja sama mereka selama masa perkawinan. Harta ini tidak termasuk harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
  • Harta gono gini campuran adalah harta yang diperoleh oleh pasangan suami istri melalui usaha atau kerja sama mereka selama masa perkawinan, tetapi juga termasuk harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.

Pembagian Harta Gono Gini Setelah Perceraian

Apabila selama perkawinan suami dan isteri tidak memiliki perjanjian pra-nikah atau perjanjian perkawinan. Maka harta bersama yang diperoleh selama perkawinan wajib dibagi dua, yaitu ½ (seperdua) menjadi hak mantan isteri dan ½ (seperdua) menjadi hak mantan suami.

Berikut dasar hukum pembagian harta gono gini:

Dasar hukum pembagian harta gono gini di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Selain itu, pembagian harta gono gini juga dapat diatur dalam perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri sebelum atau selama pernikahan. Jika ada perjanjian perkawinan, maka pembagian harta gono gini akan mengacu pada perjanjian tersebut.

Pasal 128 KUHPerdata : setelah bubarnya perkawinan (bercerai), kekayaan bersama mereka (harta bersama/ gono gini) dibagi dua untuk suami dan isteri atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersolahkan dari mana asal barang-barang (harta bersama) tersebut,

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) : Janda (mantan isteri) atau duda (mantan suami) yang telah bercerai, masing-masing memiliki hak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1448 K/Sip/1974 juga menyebutkan “ Sejak diberlakukannya Undang-Undang RI No. 1/ 1974 tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (gono gini), sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara bekas suami istri ”

Dengan mencermati ketentuan diatas, maka tidak ada perbedaan antara perceraian yang berakhir di pengadilan agama (Islam) ataupun pengadilan negeri (Kristen, katholik, hindu, budha, konghucu).

Mekanisme cara membagi harta gono gini

1. Membuat perjanjian kesepakatan tertulis antara mantan isteri dan mantan suami

Apabila mantan suami dan isteri sepakat untuk membagi harta gono gini dengan cara musyawarah mufakat, maka diantara mereka dapat membuat perjanjian tertulis yang isinya mengatur hal-hal seperti:

  • Menginventaris asset / harta yang masuk dan tidak masuk bagian harta bersama;
  • Mengatur hak dan kewajiban dari masing-masing pihak terhadap harta bersama;
  • Mengatur mekanisme teknis penjualan serta pembagian dari hasil penjualan harta bersama;
  • Mengatur terkait pembayaran hutang selama perkawinan kepada pihak ketiga atau bank.

Pada prinsipnya perjanjian tertulis yang dibuat antara mantan suami dan isteri yang didasarkan kesepakatan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Karena perjanjian tersebut adalah undang-undang bagi mereka yang membuatnya sesuai Pasal 1338 KUHPerdata.

2. Melalui mekanisme gugatan gono gini ke Pengadilan

Apabila mantan suami dan mantan isteri belum sepakat terkait pembagian harta gono gini, maka cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengajukan gugatan pembagian harta ke Pengadilan.

Untuk yang bercerai di Pengadilan Agama (islam), gugatan pembagian harta gono gini tetap diajukan di Pengadilan Agama. Sedangkan yang bercerai di Pengadilan Negeri (Kristen, katolik, hindu, budha dan konghucu), pengajuan gugatan pembagian harta gono gini tetap diajukan di Pengadilan Negeri.

Maka kemungkinan pengadilan akan menetapkan harta yang masuk dalam kategori harta bersama untuk dibagi dua. Sesuai dengan aturan yang berlaku.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajukan gugatan pembagian harta bersama ke Pengadilan

1. Harta yang masuk dalam ketegori pemberian (hibah) / warisan atau harta yang diperoleh sebelum perkawinan (harta bawaan) bukan merupakan harta gono gini yang dapat dituntut di Pengadilan.

Pasal 35 ayat (2) UU No. 1/1974 tentang perkawinan menyatakan harta bawaan (harta yang diperoleh sebelum perkawinan) dari masing-masing suami dan isteri, dan harta benda yang sebagai hadiah (hibah) atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Ketentuan diatas menegaskan harta pemberian (hibah) dari orang lain, harta warisan serta harta bawaan sebelum perkawinan tidak masuk dalam kategori harta gono gini (harta bersama), sehingga tidak dapat dibagi oleh pengadilan.

2. Harta gono gini yang dituntut tidak dalam Jaminan bank/ pihak ketiga atau tidak dapat status KPR /kredit.

Terkadang ketika terjadi perceraian terdapat asset/ harta yang masih dalam jaminan bank/ kredit pihak ketiga atau masih dalam status KPR. Apabila asset tersebut masih dalam jaminan bank/ kredit, maka terhadap harta tersebut tidak dapat digugat ke pengadilan. Dengan alasan asset/ harta tersebut belum lunas dan sepenuhnya belum dimiliki oleh para pihak.

Hal ini diatur dalam SEMA No. 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018, Huruf d Rumusan Kamar Agama Perkara Keluarga yang menyebutkan

 Gugatan harta bersama  (gono gini) yag objek sengketanya masih diagungkan sebagai jaminan utang atau objek tersebut mengandung sengketa kepemilikan akibat transaksi kedua dan seterusnya, maka gugatan atas objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.”

3. Pentingnya memegang bukti kepemilikan asset/ harta gono gini

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengajukan gugatan pembagian harta bersama adalah memegang bukti kepemilikan asset/ harta. Karena pengadilan perdata bersifat pasif, maka beban pembuktian berada pada pihak yang mengajukan gugatan.

Dalam prakteknya, banyak gugatan harta gono gini yang tidak dapat diterima (N.O) oleh pengadilan karena pihak yang mengajukan gugatan tidak memiliki bukti kepemilikan tanah/asset. Sehingga hakim tidak dapat mengetahui kapan tanah/asset tersebut dibeli serta atas nama siapa tanah/asset tersebut.

Walau terdapat pemeriksaan setempat (PS) yang dapat dilakukan majelis hakim, namun pemeriksaan setempat (PS) juga membutuhkan bukti tertulis terkait kepemilikan asset.

4. Gugatan harta gono gini ditolak apabila memiliki perjanjian pra nikah atau perjanjian perkawinan

Apabila antara suami dan isteri memiliki perjanjian pra nikah atau perjanjian perkawinan yang telah dibuatnya, maka dapat dipastikan gugatan pembagian harta gono gini (harta bersama) akan ditolak oleh pengadilan. Kecuali pihak yang mengajukan gugatan dapat membuktikan perjanjian pra nikah atau perjanjian perkawinan dapat dibatalkan.

 

 

Bila ingin berkonsultasi dengan pengacara /advokat terkait pembagian harta gono gini perceraian/ gugatan pembagian harta gono gini di pengadilan Aisah & Partners Law Firm hadir untuk membantu Anda dengan layanan konsultasi pengacara yang profesional dan terpercaya silahkan hubungi kami  melalui  Telepon/ WhatsApp  0877-5777-1108  atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com

Call Now
WhatsApp