Penulis : Siti Aisah, S.H., M.H., C.Med.
Warisan merupakan suatu bentuk hak maupun kewajiban yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris. Menurut hukum perdata Barat, pada Pasal 830 KUHPerdata menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Seringkali suatu pembagian warisan sangat dinantikan bahkan menjadi objek sengketa di Pengadilan, namun tidak jarang pula ada ahli waris yang enggan untuk menerima bagian warisan yang diwariskan kepadanya. Seseorang dapat menerima ataupun menolak warisan yang jatuh kepadanya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1045 KUHPerdata, yang menyatakan “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.”
Dalam hal seseorang menolak warisan yang jatuh kepadanya, orang tersebut harus menolaknya secara tegas, dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka sebagimana diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata.
Pada buku J. Satrio yang berjudul Hukum Waris mengatakan bahwa walaupun pertanyaan penolakan warisan tersebut tidak harus diberikan secara tertulis, tetapi oleh Pengadilan pernyataan tersebut dicatat dalam register yang bersangkutan.
Untuk penolakan waris ini tidak ada daluarsanya sebagaimana diatur pada Pasal 1062 KUHPerdata yang menyatakan “Hak untuk menolak warisan tidak dapat gugur karena daluarsa.”
Dengan artian bahwa dengan adanya daluarsa, bagi seseorang yang menolak ahli waris setelah 30 (tiga puluh) tahun, orang tersebut tidak perlu lagi melakukan penolakan warisan apabila tidak mau menjadi ahi waris.
Berdasarkan Pasal 1058 KUHPerdata menyatakan penolakan warisan tidak dapat dilakukan hanya untuk sebagian harta warisan, ini karena penolakan warisan tersebut mengakibatkan orang tersebut dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Dengan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, maka orang tersebut tidak berhak atas harta warisan.
Seseorang yang menolak warisan, dapat diminta untuk menerima warisan atas permohonan kreditur dari orang yang menolak warisan tersebut. Akan tetapi, permohonan menerima warisan tersebut hanya sebesar utang debitur saja, dan penerimaan tersebut diwakilkan oleh kreditur, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1061 KUHPerdata:
“Semua pemegang piutang terhadap seorang yang menolak suatu warisan untuk kerugian mereka, dapat meminta dikuasakan oleh Hakim untuk atas nama si yang berutang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu, menerima warisannya. Dalam hal yang demikian maka penolakan warisan tidak dibatalkan lebih lanjut selainnya untuk keuntungan para berpiutang dan untuk sejumlah piutang-piutang mereka; penolakan itu tidak sekali-kali batal untuk keuntungan si waris yang menolak”
Menurut buku J. Satrio menjelaskan bahwa alasan di balik ketentuan Pasal 1061 KUHPerdata tersebut adalah dalam hal seorang ahli waris menolak warisan yang jatuh padanya, maka tindakannya tersebut bisa merugikan kreditur, artinya menempatkan kreditur dalam kedudukan yang lebih jelek daripada kalau warisan diterima. Dengan diterimanya warisan yang positif, maka warisan tersebut bercampur dengan harta si debitur, sehingga aktiva harta debitur bertambah. Namun, kalau saldo aktiva harta debitur sendiri jumlahnya cukup untuk memenuhi utang-utangnya terhadap kreditur yang bersangkutan, maka tidak ada masalah.
Syarat Penolakan Waris di Pengadilan
Syarat yang harus dilengkapi untuk mengurus permohonan penolakan waris di Pengadilan, yaitu :
- Surat Permohonan penolakan waris yang diajukan ke Pengadilan;
- KTP Pemohon;
- Akta Kelahiran Pemohon;
- Kartu Keluarga (KK) Pemohon;
- Akta Perkawinan Orang Tua Pemohon;
- Akta Kematian Pewaris;
- Siapkan 2 (dua) orang saksi jika diperlukan.
Akibat Hukum Menolak Warisan dari Pewaris
Pasal 1058 KUHPerdata menyebutkan ahli waris yang menolak warisan, maka dianggap tidak pernah menjadi ahli waris.
Jika memperhatian ketentuan diatas, maka dengan adanya penolakan waris itu menegaskan bila ia tidak memiliki hak lagi mewarisi piutang ataupun hutang dari pewaris.
Apakah ada Penolakan Waris dalam islam ?
Di sisi lain, hak untuk menolak warisan tidak dikenal di dalam hukum Islam. Pada asasnya tidak mengenal kata penolakan warisan. Hal ini sebagaimana menurut asas ijbari, bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Tuhan tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Penyelesaiannya adalah terdapat dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Asas ijbari ini dapat terlihat dari ketentuan umum mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris, dan ahli waris. Selain itu juga pada Pasal 187 ayat (2) KHI yang berbunyi:
“Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.”
Pada dasarnya hakekat menolak waris menurut Hukum Islam adalah merupakan instrumen atau jalan si ahli waris untuk menyerahkan hak bagian waris atas harta peninggalan yang seharusnya ia terima kepada ahli waris yang lain. Dimana ahli waris tersebut dapat menyerahkan hak bagian warisnya setelah ia menyadari dan telah memiliki porsi bagiannya masing-masing. Dalam hal menolak warisan menurut hukum kewarisan Islam bahwa seorang ahli waris boleh saja tidak mau menerima harta warisan bukan dengan alasan ia ingin membebaskan diri dari hutang-hutang dan kewajiban pewaris, melainkan atas kemauannya sendiri saja, dengan alasan untuk menambah bagian kepada ahli waris yang lain, dengan jalan menyerahkan hak bagian warisnya yang seharusnya ia terima kepada ahli waris yang lain setelah ia menyadari porsi bagiannya dan telah memiliki harta warisan tersebut. Membayar hutang tetap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh para ahli waris, walaupun salah satu ahli waris tersebut menyerahkan hak bagian warisnya kepada ahli waris yang lain.
Permohonan penolakan waris hanya berlaku untuk orang-orang yang tidak terikat dengan hukum Islam. Artinya, orang-orang non islam (kristen, katolik, hindu, budha, dan konghucu) yang prosedurnya dilakukan di Pengadilan Negeri dan bukan di Pengadilan Agama.
Untuk di Pengadilan Agama tidak mengenal istilah permohonan penolakan warisan. Oleh karena itu, tidak ada prosedur penolakan waris di Pengadilan Agama.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Kompilasi Hukum Islam
Konsultasi dengan jasa pengacara mengurus permohonan penolakan waris di pengadilan negeri silahkan hubungi kami Aisah & Partners Law Firm melalui Telepon/ WhatsApp 0877- 5777-1108 atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com