Apa itu saksi dalam kasus perceraian ?
Saksi adalah orang yang dihadirkan oleh pihak berperkara di Pengadilan dengan tujuan didengarkan keterangannya terkait suatu peristiwa yang ia dengar atau lihat atau alami sendiri.
Dalam kasus perceraian, keterangan saksi adalah pihak yang paling menentukan seseorang dapat bercerai atau tidak. Artinya, tidak ada perceraian tanpa ada saksi. Oleh karena itu, setiap orang yang ingin bercerai melalui mekanisme pengadilan memiliki kewajiban menghadirkan minimal 2 (dua) orang saksi untuk di dengarkan keterangannya.
Siapa yang dapat jadi saksi kasus perceraian ?
Oleh karena alasan perceraian paling banyak di pengadilan adalah dikarenakan “bertengkar terus menerus”, maka keberadaan saksi adalah wajib untuk dihadirkan guna didengarkan keterangannya oleh majelis hakim.
Khusus untuk kasus perceraian, pihak yang dapat menjadi saksi di dengar keterangannya adalah dari “pihak keluarga” atau “orang-orang terdekat”.
Ketentuan yang mengatur saksi dapat dari keluarga atau orang-orang terdekat, yaitu :
Pasal 22 ayat (2) PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan yang pada menyebutkan gugatan perceraian dengan alasan pertengkaran atau perselisihan dapat diterima oleh pengadilan setelah mendengar pihak keluarga atau orang-orang terdekat dari suami isteri tersebut.
Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyebutkan Pengadilan Agama dapat menerima gugatan/ permohonan cerai dengan alasan pertengkaran atau perselisihan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Selain itu, dalam Pasal 76 ayat (1) UU Peradilan Agama juga menyebutkan apabila perceraian didasarkan dengan alasan syiqaq (pertengkaran atau perselisihan), maka untuk memutus perceraian terlebih dahulu mendengar keterangan saksi-saksi dari pihak keluarga atau orang terdekat dengan suami isteri.
Sesuai dengan penjelasan diatas, maka pihak yang dapat diangkat menjadi saksi dalam kasus perceraian adalah :
- Keluarga, atau
- Orang-orang terdekat dari pihak suami dan isteri.
Dalam praktek, definisi keluarga dapat ditafsirkan seperti orang tua, adik, kakak, paman, tante (bibi), sepupu atau pihak lain yang memiliki hubungan keluarga lainnya.
Apabila terdapat anak yang sudah dewasa, apakah dapat dijadikan saksi ?
Pengalaman kami di pengadilan, umumnya hakim menyarankan agar anak yang telah dewasa dari pasangan yang ingin bercerai tidak dijadikan saksi oleh orang tuanya, mengingat anak harusnya netral dan takutnya mengganggu psikologis anak. Oleh karena itu, hakim umumnya menyarankan mengambil saksi dari pihak keluarga lainnya.
Apakah Saksi Keluarga Dapat Diajukan dalam Perkara Perceraian?
Ketentuan mengenai saksi keluarga diatur dalam Pasal 145 ayat (1) HIR yang menyatakan: “Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah:
1. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
2. istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
3. anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia 15 (lima belas) tahun;
4. orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.”
Selanjutnya, Pasal 172 RBg: “Tidak boleh didengar sebagai saksi adalah mereka:
1. yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak;
2. saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu;
3. suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai;
4. anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun;
5. orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.”
Pada umumnya, saksi keluarga sesuai yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 145 ayat (1) HIR/Pasal 172 ayat (1) RBg tidak dapat diajukan sebagai saksi dalam persidangan. Alasannya, akan sulit bagi mereka untuk memberikan keterangan yang benar-benar objektif disebabkan hubungan kekerabatan antara saksi dengan pihak yang berperkara. Namun, Pasal 145 ayat (2) HIR/Pasal 172 ayat (2) RBg menyatakan bahwa dalam hal mengenai keadaan menurut hukum perdata, keluarga sedarah dan semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi. Yang dimaksud tentang keadaan menurut hukum perdata antara lain adalah hubungan perselisihan tentang perkawinan, keturunan, dan perceraian. Ratio legis dari diperbolehkannya saksi keluarga memberikan keterangan adalah karena rumah tangga adalah urusan yang sangat privat. Maka dari itu, orang yang benar-benar mengetahui keadaan rumah tangga biasanya adalah para pihak dan keluarga para pihak yang berperkara itu sendiri.
Dari konstruksi berpikir seperti di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa para pihak yang berperkara seharusnya dapat mengajukan keluarga sebagai saksi. Jenis saksi ini dapat diajukan terlepas dari alasan perceraian apa pun sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini disebabkan karena hanya saksi keluargalah yang benar-benar mengetahui kondisi dan peristiwa yang terjadi di dalam rumah tangga para pihak. Frasa “dapat” menunjukkan bahwa pengajuan saksi keluarga dalam perkara perceraian pada umumnya bukan merupakan suatu kewajiban.
Perkiraan pertanyaan dalam kasus perceraian ?
Dibawah ini kami memberikan gambaran perkiraan pertanyaan kepada saksi dalam kasus perceraian, yaitu :
- Apa hubungan saksi dengan Penggugat ?
- Apakah saksi kenal dengan Tergugat ?
- Apa hubungan saksi dengan Tergugat ?
- Apakah saksi tahu kapan Penggugat dan Tergugat menikah ?
- Apakah saksi hadir pada saat perkawinannya ?
- Apakah perkawinan Penggugat dan Tergugat dicatatkan ?
- Apakah selama perkawinan mereka memiliki anak ? berapa anak ? umur nya berapa ?
- Apakah Penggugat dan Tergugat saat ini masih tinggal satu rumah ? Jika tidak tinggal 1 rumah, Penggugat dan Tergugat saat ini tinggal wilayah mana ?
- Apakah saksi tahu apa alasan sehingga Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap Tergugat ?
- Apakah saksi tahu apa alasan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat ?
- Apakah saksi pernah melihat atau mendengar pertengkaran Penggugat dan Tergugat ?
- Apakah pihak suami (ayah dari anak) masih memberi nafkah kepada anaknya ?
- Apakah pihak keluarga sudah pernah mencoba mendamaikan Penggugat dan Tergugat ini agar tidak bercerai ?
Ingin berkonsultasi mengenai perceraian di pengadilan negeri dan Pengadilan Agama, silahkan hubungi kami Aisah & Partners Law Firm melalui Telepon/ WhatsApp 0877-5777-1108 atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com