Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Untuk dapat mengucapkan talak, suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai alasan agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 KHI:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Lantas, bagaimana jika suami mengucapkan talak di luar Pengadilan Agama? Nasrulloh Nasution dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan menerangkan, talak yang diucapkan di luar pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Konsekuensinya, ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.

 

Talak Satu dan Talak Dua

Talak satu dan talak dua adalah talak yang masih dapat dirujuk atau kawin kembali.

Ketentuan mengenai talak satu dan dua diatur dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 229:

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan bak atau melepaskan dengan baik…

Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 103-104) menerangkan, dilihat dari bentuk cara terjadinya dan akibat hukumnya, talak satu dan dua dibedakan menjadi:

  • Talak raj’i atau talak ruj’I adalah talak yang masih boleh dirujuk. Sedangkan menurut Pasal 118 KHI, talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. Yang termasuk talak raj’i yaitu:
  1. Talak satu atau talak dua tidak pakai ‘iwadh (sejumlah uang pengganti yang merupakan syarat jatuhnya talak) dan keduanya telah bersetubuh (ba’da al dukhul);
  2. Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan proses ila’, yaitu sumpah si suami tidak akan mencampuri istrinya;
  3. Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan persamaan pendapat dua hakam karena adanya syiqaq (keretakan yang sangat hebat antara suami dan istri), tidak pakai ‘iwadh

 

  • Talak ba’in shugra adalah talak yang tidak dapat dirujuk lagi, tetapi keduanya dapat kawin lagi sesudah masa iddah habis. Senada dengan hal tersebut, Pasal 119 KHI mendefinsikan talak ba`in shughra sebagai talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
  • Talak Tiga Talak tiga adalah salah satu bentuk dari talak ba’in besar, yakni talak yang tidak boleh rujuk lagi. Konsekuensi dari talak tiga ini yakni keduanya tidak boleh rujuk dan kawin lagi sebelum mantan istri kawin dengan orang lain, demikian menurut pendapat Sayuti dalam buku yang sama (hal. 104).

Ketentuan mengenai talak tiga diatur dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 230, yang menyatakan:

Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

Terkait ayat tersebut, Sayuti menerangkan, dalam hal suami menjatuhkan talak tiga, maka agar keduanya dapat menikah kembali, perlu adanya muhallil atau orang yang menghalalkan. Maksudnya, si istri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain, yang disebut muhallil, dan melakukan persetubuhan dengannya. Kalau keduanya kemudian bercerai, maka barulah mantan pasangan suami-istri yang berpisah akibat talak tiga tersebut dapat kawin kembali (hal. 101-102).

Pengaturan mengenai talak tiga atau talak ba’in kubra ini juga dapat kita temui dalam Pasal 120 KHI:

Talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.

Namun demikian, dalam praktik, ada pihak yang berupaya mencari celah hukum dengan membayar seorang laki-laki untuk menjadi muhallil dan menikah dengan mantan istrinya yang telah ditalak tiga untuk beberapa waktu tertentu, kemudian mentalaknya sehingga nantinya mantan suami-istri yang bercerai akibat talak tiga dapat kawin kembali.

Terkait fenomena ini, Sudarsono menjelaskan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dalam syariat Islam (hal. 128-129). Sayuti juga berpendapat demikian, bahwasannya perbuatan muhallil upahan ini yang telah sejak semula direncanakan hanya untuk kawin sebentar saja, kemudian bercerai adalah perbuatan yang terlarang dalam hukum Islam (hal.102).

 

Adapun istilah-istilah talak yang umum di dengar masyarakat adalah talak satu, talak dua dan talak tiga.

Dilihat dari segi istilah, maka talak dapat diartikan “perceraian yang dilakukan antara suami dan isteri”, atau “lepasnya ikatan perkawinan”.  Selain itu, talak juga dapat diartikan secara khusus sebagai bentuk perceraian yang dijatuhkan suami terhadap isterinya.

Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan : “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”

Dikutip dari nu.online (19/07/2019), ternyata tidak mudah bagi seorang suami menjatuhkan talak terhadap isterinya. Artinya, Ibarat sebuah akad yang memiliki syarat dan rukun, maka untuk menjatuhkan talak, maka memerlukan syarat dan ketentuan sebagai berikut :

  1. Pihak yang menjatuhkan talak merupakan suami yang sah, baligh, berakal sehat, dan menjatuhkan talak atas kemauannya sendiri.
  2.  Isteri yang dijatuhkan talak diwajibkan dalam keadaan suci dan tidak tercampur. takal ini dikenal dengan istilah “talak sunnah” atau talak yang diperbolehkan. Sedangkan apabila isteri dalam keadaan haid, maka dikenal dengan istilah “talak bid’ah” yang berarti talak yang diharamkan.
  3. Redaksi talak yang dipergunakan bisa berupa ungkapan yang jelas (sharih), bisa juga berupa ungkapan sindiran (kinayah).

Jenis-Jenis Talak

Untuk mengetahui jenis-jenis talak, maka dapat melihat langsung aturannya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang akan kami rangkum sebagai berikut :

1. Talak Raj’i

Talak Raj`I merupakan talak kesatu atau kedua. apabila talak ini dlakukan, maka suami berhak rujuk kembali dengan isteri selama masa iddah.

2. Talak Ba’in Shughraa

Talak Ba’in Shughraa merupakan talak yang pada prinsipnya tidak boleh dirujuk kecuali melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.

Talah Ba’in Shughraa adalah :

  1. Talak yang terjadi qabla al dukhul;
  2. Talak dengan tebusan atahu khuluk;
  3. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

3. Talak Ba`in Kubraa

Talak Ba’in Kubraa merupakan talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

4. Talak Sunny

Talak sunny merupakan talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

5. Talak Bid’i

Talak bid`I merupakan talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Suami Talak Isteri, Resmikah Bercerai ?

Apabila mengacu pada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka perceraian hanya bisa terjadi apabila diajukan dihadapan pengadilan. Artinya, untuk menceraian isteri, maka suami wajib menjatuhkan talak kepada isterinya di Pengadilan Agama

Pasal 129 KHI :

 “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Perlu dipahami apabila seorang suami secara langsung menalak isterinya, maka menurut hukum agama, perceraian tersebut telah sah, sepanjang dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang diatur hukum agama.  Namun, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tetap menegaskan proses perceraian yang baik adalah diajukan ke Pengadilan Agama agar perceraian  sah menurut hukum agama dan sah menurut hukum negara.

 

 

Aisah & Partners Law Firm hadir untuk membantu Anda dengan layanan konsultasi Pengacara   yang profesional dan terpercaya silahkan hubungi kami  melalui  Telepon/ WhatsApp  0877-5777-1108  atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com

Call Now
WhatsApp