Harta warisan adalah harta milik pewaris yang telah meninggal dunia dan wajib dibagi kepada ahli waris yang sah.

Harta warisan dari pewaris yang meninggal dunia dapat berupa tanah, tanah dan bangunan (rumah), apartemen, kendaraan mobil, motor, perhiasan, saham perusahaan hingga emas, tabungan dan asuransi.

Sedangkan pihak yang berhak menerima warisan disebut ahli waris.

Pembagian warisan dalam Islam dan Non-Islam berbeda. Pembagian warisan dalam Islam memakai hukum Islam yang sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sedangkan untuk Non Islam diatur dalam KUHPerdata.

Proses penentuan ahli waris dalam islam dilakukan melalui Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama. Sedangkan untuk Non Islam terbagi, apabila keturunan Pribumi memakai Surat Keterangan Waris dan apabila keturunan Tionghoa memakai Akta Notaris.

Seseorang yang menjual tanah warisan tanpa persetujuan ahli waris lain bisa mengakibatkan jual beli tersebut tidak sah dan batal.

Bahwa berdasarkan pasal 833 ayat (1) KUHPerdata, menyatakan:

“Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal”

Bahwa berdasarkan pasal 1471 KUHPerdata, menyatakan:

“Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”

Hal ini juga diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No. 82 K/Pdt/2004, tertanggal 22 Mei 2007, yang menyatakan:

“Perjanjian jual beli tanah warisan batal demi hukum karena boedel waris belum terbagi, masih terdapat harta bersama orang tua yang mana masih hidup salah satu orang tua, dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai alas hak yang sah untuk melakukan perbuatan hukum melakukan perjanjian jual beli, dilakukan tanpa izin dan persetujuan orang tua dan saudara kandung, Belum ada pembagian dan pengalihan hak dan penyerahan hak secara sah dengan pembagian warisan, jual beli tanah warisan juga melampaui hak”

Berdasarkan hal tersebut di atas, Apabila ada ahli waris yang menjual tanah warisan, tanpa persetujuan ahli waris lain, pada hal warisan tersebut belum dibagi, maka jual beli tersebut tidak sah dan batal demi hukum.

Menjual Harta Warisan Tanpa Persetujuan Ahli Waris Lainnya

Dalam hukum waris, semua ahli waris harusnya terlibat apabila terdapat perbuatan penjualan atau menjaminkan (mengagungkan) harta milik pewaris yang telah meninggal dunia.

Apabila ahli waris tidak dilibatkan dalam proses penjualan harta milik pewaris, maka ahli waris yang tidak dilibatkan tersebut dapat mengajukan upaya hukum, seperti :

1. Mengajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan

Permohonan atau gugatan pembatalan ke Pengadilan dapat diajukan dengan dasar Pasal 1471 KUHPerdata :

“ Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.”

Selain itu, Yurisprudensi Putusan MA RI No. : 5072 K/PDT/1998 tgl 29 September 2003 berbunyi “ Perjanjian jual-beli atas suatu objek yang kepemilikannya belum pasti adalah batal demi hukum karena tanpa alas hak yang sah dan tidak memenuhi syarat halalnya dasar perjanjian tersebut.”

Kemudian, Yurisprudensi Putusan MA RI No : 82 K/PDT/2004 tgl 22 Mei 2007 menyebutkan “ Perjanjian jual-beli tanah warisan batal demi hukum karena boedel waris belum terbagi, masih terdapat harta bersama orang tua yang mana masih hidup salah satu orang tua, dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai alas hak yang sah untuk melakukan perbuatan hukum melakukan perjanjian jual-beli, dilakukan tanpa izin dan persetujuan orang tua dan saudara kandung, belum ada pembagian dan pengalihan hak dan penyerahan hak secara sah dengan pembagian warisan, jual-beli tanah warisan juga melampaui hak.”

2. Melaporkan Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Apabila terdapat  dugaan upaya memalsukan surat-surat atau menggunakan surat palsu dalam proses penjualan warisan tanpa persetujuan ahli waris lainnya, maka dapat dilakukan pidana sesuai ketentuan Pasal 263 KUHP, yaitu sebagai berikut :

  1. Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun.
  • Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

 

 

Konsultasi dengan jasa pengacara perceraian di Aisah & Partners Law Firm seputar pengurusan perceraian, hak asuh anak, serta pembagian harta gono gini serta sengketa pembagian warisan melalui  Telepon/ WhatsApp  0877- 5777-1108 atau Email aisahpartnerslawfirm@gmail.com

Call Now
WhatsApp